Definisi Agama Budha. Agama Budha merupakan salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Agama ini berasal dari India, tepatnya di bagian timur. Agama ini berdasarkan pada ajaran dari Sidharta Gautama.
Sidharta juga dikenal dengan nama Shakyamuni, yang berarti orang bijak kaum Shakya atau Tathagata. Waktu kelahiran dan kematiannya sendiri tidak diketahui pasti. Tidak ada sama sekali dokumen resmi yang dapat digunakan sebagai pendukung. Namun banyak yang menduga dia hidup antara tahun 563 hingga 483 Masehi.
Budha sendiri merupakan sebuah gelar yang berarti “orang yang mendapat pencerahan”. Sidharta mendapatkan gelar Sang Budha. Sebuah penggalian arkelogi yang berhasil diselesaikan pada 1995, memperoleh hasil yang menarik. Ditemukan fakta bahwa kemungkinan Sidharta tinggal di istana ayahnya yang sekarang merupakan batas wilayah antara Nepal dan India.
Sidharta adalah seorang pangeran. Dari kisah yang diyakini pemeluk agamanya, saat lahir Sidharta bersih dari noda. Ada dua arus air yang jatuh dari langit dan langsung membasuh tubuhnya. Arus itu dingin dan hangat.
Kemudian sang pangeran langsung berjalan ke arah utara dan bekas jejak kakinya ditumbuhi bunga teratai. Oleh para pertapa, Sidharta diramalkan akan menjadi seorang Budha. Ayahnya mencemaskan ramalan itu, karena berarti tidak ada lagi yang meneruskan tugas untuk menduduki takhta kerajaan.
Akhirnya raja pun meminta para pertapa menjaga Sidharta dan mencegahnya melihat empat hal agar ramalan tadi tidak terjadi. Empat hal yang dimaksud adalah orang sakit, pertapa, orang mati, serta orangtua.
Selama bertahun-tahun Sidharta hidup di istana dengan penuh kemewahan dan dijaga agar tidak melihat hal-hal yang ingin dihindari ayahnya. Sidharta pun akhirnya menikah ketika usianya baru saja menginjak 16 tahun. Ia menikah saudara sepupunya yang berumur sama, Putri Yasodhara.
Suatu ketika, setelah menikah Sidharta Gautama meminta izin keluar istana. Saat itu, empat hal yang berusaha dihindari oleh ayahnya pun terlihat olehnya. Penglihatan akan orangtua, orang yang sakit, serta jenazah mengusik hatinya.
Sidharta berpikir bahwa kehidupan melibatkan pertambahan usia, penyakit, serta kematian. Penglihatan tadi mendorongnya untuk meninggalkan istrinya dan menjadi orang suci.
Sang pangeran hidup dalam kegundahan, hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan segala kesenangan duniawi. Tujuannya sangat mulia, ingin membebaskan manusia dari tua, sakit, dan mati. Singkatnya, Sidharta pun mulai bertapa hingga tubuhnya menjadi sangat kurus.
Godaan datang silih berganti, namun dia tetap bertahan dengan kondisinya yang melemah. Hingga suatu pagi dia pun mencapai tahap “pencerahan sempurna”. Saat itu, dari tubuhnya keluar enam buah sinar yang memancar dari tubuhnya.
Sidharta pun mulai menyebarkan ajarannya yang disampaikan dengan penuh kasih sayang. Kurang lebih selama 45 tahun beliau berkelana ditemani murid-muridnya, hingga akhirnya meninggal dunia dalam usia 80 tahun di Kusinagara.
Menurut ajaran agama Budha, untuk mencapai Nirwana yang merupakan kesempurnaan, seorang manusia bisa mencapainya tanpa harus melalui bantuan dari kaum Brahmana atau pendeta. Hal yang sebelumnya disyaratkan dalam agama Hindu.
Selama ini di India memang membagi masyarakat atas kasta-kasta yang pada dasarnya merupakan pembagian tugas atau pekerjaan. Keempat kasta tersebut, yakni:
- Kaum Brahmana yang bertugas untuk mengurus soal kehidupan keagamaan.
- Kaum Ksatria berkewajiban menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Mempertahankan negara dari agresi musuh adalah salah satunya.
- Kaum Waisya memiliki kewajiban sendiri, yaitu menjadi pedagang, petani, serta peternak.
- Kaum Sudra merupakan kaum yang biasa melakukan pekerjaan kasar, seperti budak.
Sebenarnya, masih ada satu lagi kaum yang berada di luar keempat kasta di atas, yaitu kaum Paria. Namun, mereka cenderung diabaikan karena biasanya menjadi orang jahat, orang buangan, hingga fakir miskin.
Setiap orang mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk mencapai kesempurnaan, asalkan mampu mengendalikan dirinya dengan baik. Itulah keyakinan dari Sidharta.
Pokok-pokok dalam agama ini terdapat pada Aryasatyani dan Pratityasamutpada. Aryasatyani bermakna kebenaran-kebenaran utama. Kebenaran utama yang dimaksud meliputi hidup yang menderita. Sementara, Pratityasamutpada merupakan rantai sebab akibat.
Rantai sebab akibat ini terangkai dari 12 buah rangkaian sebab dan akibat yang merupakan hasil dari perilaku manusia. Dalam perkembangannya, agama Budha malah pecah menjadi dua buah aliran. Pertama, aliran Hinayana. Aliran ini mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana sangat tergantung pada usaha diri untuk melakukan meditasi.
Aliran yang kedua dikenal dengan nama Mahayana. Aliran ini berpendapat bahwa untuk mencapai Nirwana setiap orang harus mengembangkan kebijaksanaan dan sifat welas asih. Sehingga dengan demikian seorang pendeta bertugas untuk memberi bimbingan dan petunjuk yang tepat kepada pengikutnya, agar bisa mencapai Nirwana bersama.
Keseluruhan ajaran Budha ada dalam sebuah kitab yang bernama Tripitaka. Kitab ini sudah barang tentu menjadi pedoman bagi umat pengikut Sidharta Gautama dalam menjalani kehidupan mereka.
Kitab Tripitaka ini terdiri atas tiga buah kumpulan tulisan. Pertama, Sutra Pitaka yang berisi wejangan dari Sang Budha. Kedua, Vinaya Pitaka yang berisi segala macam aturan dan hukum, yang berfungsi untuk menentukan cara hidup para pemeluknya. Terakhir, Abhidharma Pitaka yang dipenuhi penjelasan dan kupasan detil tentang keagamaan.
Perkembangan agama ini di India mencapai puncaknya saat pemerintahan Raja Asoka dari Dinasti Maurya. Saat itu, sang raja menetapkan Budha sebagai agama resmi bagi kerajaan. Ketika itu juga turun perintah untuk mendirikan stupa-stupa di seluruh wilayah kerajaan.
Agama ini kemudian mulai meluas ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Cara masuknya tidak melalui penaklukan seperti agama Kristen. Melainkan dipelajari oleh orang Indonesia yang telah melakukan berbagai kontak dengan para pemeluk agama yang diajarkan Sidharta Gautama ini.
Aktivitas perdagangan yang terjadi ribuan tahun silam juga menentukan penyebaran agama ini. Pelaut dan pedagang Indonesia mengarungi lautan luas untuk menjangkau tempat lain, guna melakukan perdagangan. Dalam proses itu, mereka pun bertemu dengan pedagang dari wilayah lain. Contohnya pedagang dari India dan Cina.
Hubungan perdagangan kemudian berkembang lebih jauh. Sehingga para pemuka agama pun menumpang kapal para pedagang Indonesia untuk menyebarkan ajaran agama yang mereka anut ke seluruh pelosok negara kita.
Daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh agama ini terutama berada di jalur pelayaran dan perdagangan, antara Indonesia dengan India dan Cina. Pusat-pusat perdagangan di Indonesia sekaligus menjadi pusat perkembangan dan persebaran ajaran Sidharta Gautama.
Dalam perkembangannya, daerah yang dimaksud tadi menjadi pusat pemerintahan. Pendeta Fa-Hien dari Cina sempat menginjakkan kakinya di Kerajaan Tarumanegara. Lalu ada pendeta I-Tsing yang singgah di Sriwijaya dan Melayu. I-Tsing memberitakan bahwa di Kerajaan Sriwijaya kala itu sudah ada hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan agama Budha.
Dalam catatannya, I-Tsing menulis bahwa dia sempat menerjemahkan kitab Tripitaka ke dalam bahasa Cina. Sriwjaya adalah salah satu kerajaan Budha terbesar di Indonesia. Tak hanya itu, kerajaan ini pun menjadi pusat pengembangan agama ajaran Sidharta Gautama yang terbesar untuk wilayah Asia Tenggara.
Dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Nalanda, menuliskan kisah tentang hubungan antara Raja Sriwijaya dan raja dari India. Raja Dewalapadewa (India) menghadiahi sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa (Sriwijaya).
Tanah itu kelak digunakan untuk mendirikan sebuah bangunan khusus yang diperuntukkan bagi para peziarah dan mahasiswa dari Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu agama di Nalanda, India. Agama Budha pun makin berkembang di tanah air, seiring dengan makin membesarnya kekuasaan Sriwijaya.