Panggilan sidang
Apabila seorang terdakwa hendak diperiksa dipersimpangan, penuntut umum harus “menghadirkan” terdakwa dengan jalan “memanggil” terdakwa. Penuntut umum diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal, yang ditentukan dan tempat persidangan yang telah ditentukan. Ini berarti tanpa ketidakhadiran terdakwa dianggap tidak sah. Kalau terdakwa tidak dapat dihadirkan maka persidangan diundurkan pada hari lain untuk memberi kesempatan penuntut umum melakukan pemanggilan dan menghadirkan terdakwa.
Untuk sahnya suatu pemanggilan :
1. Panggilan berbentuk surat panggilan (pasal 145 ayat 1 KUHAP). Memuat antara lain : tanggal, hari serta jam sidang, temapt gedung persidangan, untuk perkara apa ia dipanggil.
2. Pemanggilan harus disampaikan
a. terdakwa berada diluar tahanan :
- pemanggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alat tempat tinggal
- bila tidak diketahui, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa
- bila tidak ada, surat pemanggilan disampaikan melalui kepada desa daerahhukum tempat tinggal terakhir terdakwa (pasal 145 ayat a (2))
- surat panggilan “tempelan” bila tidak diketahui atau tidak dikenal.
b. terdakwa berada dalam tahanan surat panggilan dilakukan melalui pejabat Rutan (pasal 145 ayat 3)
3. Surat tanda penerimaan (pasal 145 ayat 4)
4. Tenggang waktu penyampaian surat panggilan
5. Surat panggilan harus memuat “dakwaan”
Acara Persidangan
Pembacaan Surat Dakwaan
Surat dakwaan bagi terdakwa berfungsi untuk mengetahui sejauhmana terdakwa dilibatkan dalam persidangan. Dengan memahami surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum maka surat dakwaan tersebut adalah dasar pembelaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi hakim sebagai bahan (objek) pemeriksaan dipersidangan yang akan memberi corak dan warna terhadap keputusan pengadilan yang akan dijatuhkan.
Bagi jaksa penuntut umum, surat dakwaan menjadi dasar surat tuntutan (requisitori). Sesudah pemeriksaan selesai (ditutup) oleh hakim, maka penuntut umum membuat suatu kesimpulan bagian-bagian mana dan pasal-pasal mana dari dakwaan yang dinyatakan terbukti.
Syarat-syarat surat dakwaan, ada 2 (dua) yaitu :
a. Syarat formal (pasal 143 ayat (2) . KUHAP
- Antara lain memuat nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, serta pendidikan terdakwa.
- Tidak terpenuhinya syarat formil ini tidak mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (absolute nietig) karena tidak tegas diatur dalam undang-undang tetapi dapat dibatalkan.
b. Syarat materiil (pasal 143 ayat (2) b. KUHAP, meliputi :
- uraian secara cermat tindak pidana yang didakwakan
- uraian secara jelas tindak pidana yang didakwakan
- uraian secara lengkap tindak pidana yang didakwakan
- waktu tindak pidana dilakukan
- tempat tindak pidana dilakukan
Bilamana syarat-syarat materiil ini tidak dipenuhi maka surat dakwaaan batal demi hukum (pasal 143 ayat 3 KUHAP).
Eksepsi
Eksepsi adalah keberatan yang diajukan terdakwa dan atau penasehat hukumnya terhadap syrat hukum formil, belum memasuki pemeriksaan hukum materil. Pengajuan eksepsi diberikan kepada terdakwa setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan. Majelis hakim akan menanyakan dan memberi kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukum apakah terdakwa akan menanggapi / keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum ataukah dalam bentuk eksepsi.
Bila terdakwa atau penasehat hukumnya tidak mengajukan keberatan / tanggapan terhadap surat dakwaaan maka persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi.
Ada tiga hal yang menjadi objek eksepsi sebagaimana yang dimuat dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP yaitu :
1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, meliputi :
- Keberatan tidak berwenang mengadili secara relatif (competentie relatif)
- Keberatan tidak berwenang secara absolute (competentie absolute)
2. Dakwaaan tidak dapat diterima, antara lain :
- apa yang didakwakaan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran
- apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekutan hukum tetap (nebis in idem)
- apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaluarsa
- apa yang didakwakaan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya
- apa yang didakwakaan kepada terdakwa bukan merupakan tinda pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata
- apa yang didakwakaan kepada terdakwa adalah “tindak pidana aduan” atau “klacht delicten”, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah menggunakan haknya.
3. Surat dakwaan harus dibatalkanm,
Dalam hal ini karena tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditentukan pasal 143 ayat 2 huruf a. Sebenarnya eksepsi mengenai surat dakwaan tidak membawa efek, karena andai kata dakwaan ditolak jaksa penuntut umum masih bisa memperbaiki kembali karena belum memeriksa pokok perkara. Kecuali bilamana “putusan pembatalan surat dakwaan” setelah selesai pemeriksaan materi perkara oleh pengadilan negeri atau putusan pengadilan tinggi ata putusan Mahkamah Agung.
Acara Pemeriksaan
1. formalitas persidangan.
Prinsip pemeriksaan dalam persidangan pidana antara lain :
- Prinsip pemeriksaan terbuka untuk umum
- Hadirnya terdakwa dalam persidangan
- Hakim ketua sidang memimpin persidangan
- Pemeriksaan dalam sidang secara langsung dengan lisan
- Wajib menjaga pemeriksaaan secara bebas
- Pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterngan saksi
Proses pemeriksaan persidangan : Pemeriksaan identitas terdakwa, mengenai :
- nama lengkap
- tempat lahir
- umur dan tanggal lahir
- jenis kelamin
- kebangsaan
- tempat tinggal
- agama
- pekerjaan
- pendidikan terakhir
2. Memperingatkan terdakwa
3. Pembacaan surat dakwaan
4. Menanyakan tentang isi surat dakwaan
5. hak mengajukan eksepsi
6. pemeriksaan saksi
7. pemeriksaan terdakwa
8. pemeriksaan ahli (bila diperlukan)
Berkaitan dengan pemeriksaan saksi menurut Yurisprudensi MARI NO. 1691K/Pid/1993 tanggal 20 Maret 1994 : Tiada manfaatnya menghadirkan dan mendengarkan keterangan para saksi sebanyak-banyaknya yang secara kwantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, namun secara kualitatif tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan yang diatur pada pasal 185 (4), (6) KUHAP.
Berkaitan dengan barang bukti menurut MARI No. 115K/Kr/1972 tanggal 23 Mei 1973 yaitu Yang dimaksud dengan barang bukti dalam persidangan ialah barang bukti yang resmi diajukan oleh jaksas kepada hakim dalam persidangan.
Pembacaan Surat Tuntutan/Requisitoir
Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (pasal 182 (1) KUHAP). Pemeriksaan dapat dinyatakan selesai, apabila :
- Semua alat bukti telah rampung diperiksa (menurut pasal 184 ayat 1 mengenai alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa).
- Semua barang bukti yang ada telah diperlihatkan kepada terdakwa maupun saksi-saksi sekaligus menanyakan pendapat mereka terhadap barang bukti tersebut.
- Demikian juga surat-surat yang ada maupun berita acara yang dianggap penting sudah dibacakan dalam sidang pengadilan.
Mengenai surat tuntutan maka surat tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti dan disertai dengan penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran (visualisasi) dari tuntutan hukum yang akan dimohonkan kepada hakim.
Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi bahan untuk pembelaan, karena terdakwa dapat meng-caunter argumentasi yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat tuntutan, bilamana tuntutan pemidanaan. Bagi hakim surat dakwaan dapat menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga bahan confirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan bagi keyakinannya.
Penyusunan surat tuntutan adalah suraut karya yurudis, ilmiah dan seni karena surat tuntutan harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dengan dukungan ilmiah yang disusun dalam bahasa dan tata bahasa yang baik.
Pledoi / Pembelaan
Setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat tuntutannya maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP).
Pembelaan (pledoi) bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-ringannya.
Dalam pasal 182 KUHAP, dinyatakan :
- Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
- Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat giliran terakhir.
- Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Dalam mengajukan pembelaan/pledoi biasanya terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan tanggapan, antara lain :
- Surat dakwaan jaksa penuntut umum kabur
- Jaksa penuntut umum keliru dalam menerpakan undang-undang atau pasal-pasal yangdidakwakan
- Jaksa penuntut umum keliru melakukan analisa terhadap unsur-unsur delik yang didakwakan dan penerapan terhadap perbuatan terdakwa yang dipandang terbukti
- Jaksa penuntut umum keliru dalam menilai alat-alat bukti atau menggunakan alat bukti yang saling tidak mendukung
- Delik yang didakwakan adalah delik materil bukan formil
- Mengajukan alibi pada saat terjadinya perbuatan pidana
- Perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan pidana tetapi perbuatan perdata
- Barang bukti yang diajukan bukanlah milik terdakwa, dan lain sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapi.
Berkaitan dengan alibi, dalam yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 : Alibi yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia pada saat dilakukannya delik oleh para saksi (menjadi terdakwa dalam perkara lain) berada di tempat lain, maka alibi ini dapat diterima oleh hakim, karena alibi tersebut dibenarkan oleh para saksi yang keterangannya bersesuaian satu dengan lainnya, dan diperkuat pula adanya surat bukti (buku jurnal). Dengan adanya alibi tersebut, maka dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya.
Replik (oleh Jaksa)
Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud serta materi pokok dari pembelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut.
Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.
Duplik
Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti ini lazim disebut sebagai “duplik”. Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan tangkisan.
Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.
Acara Pembacaan Putusan
Setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan berkaitan dengan tindak pidana yang disidangkan tersebut.
Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk :
- Putusan bebas (vrij spraak)
- Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
- Putusan pemidanaan
- Penetapan tidak berwenang mengadili
- Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima
Hal-hal yang harus dimuat dalam suatu putusan (pasal 197 KUHAP) yaitu :
- Berkepala : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
- Identitas terdakwa
- Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan penuntut umum
- Pertimbangan yang lengkap
- Tuntutan pidana penuntut umum
- Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan
- Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tungga
- Pernyataan kesalahan terdakwa
- Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti
- Penjelasan tentang surat palsu
- Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan
- Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera
Kekeliruan pengetikan huruf g dan I tidak mutlak membatalkan putusan. Kekeliruan penulisan atau pengetikan terhadap huruf b, c, d, j, k dan l yaitu :
- Tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum
- Tetapi kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan atau pengetikan itu dapat diperbaiki.
Kekeliruan penulisan atau pengetikan huruf a, e, f, dan h yaitu :
- Dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum
- Kelalaian mencantumkannya mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam yurisprudensi MARI No. 793K/Pid/1990 tanggal 16 Maret 1993 : menurut pasal 197 KUHAP, ditentukan bahwa setiap pemidanan hakim wajib mencamtukan dalam putusannya rumusan tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam tuntutan jaksa, ex pasal 197 ayat 1 huruf e KUHAP. Bilamana hakim lalai memuat tuntutan pidana (requisitoir) jaksa dalam putusannya maka akibat hukumnya adalah putusan hakim tersebut menjadi batal demi hukum.
Begitu juga dengan barang bukti, Menurut Yurisprudensi MARI No. 129K/Kr/1969 tanggal 17 Juli 1971 menyebutkan : Tidak memberi keputusan barang bukti (surat) yang diajukan di muka sidang dan memberi keputusan atas sesuatu barang yang tidak diajukan sebagai barang bukti di muka sidang tidaklah mengakibatkan batalnya putusan. Judex factie tidak berwenang memberi putusan terhadap barang yang tidak diajukan di muka sidang.
Dengan tidak mempertimbangkan dasar dan perampasan barang bukti, oleh karena kedua keputusan tersebut sebagai kurang beralasan harus dibatalkan (Yurisprudensi MARI No. 89K/Kr/1968 Februari 1969).
Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidan wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
- Hak segera menerima atau segera menolak isi putusan
- Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP)
- Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (pasal 169 ayat 3 KUHAP jo. UU Grasi)
- Hak meminta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP)
- Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a (menolak putusan) dalam waktu yang ditentukan dalam pasal 235 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa “selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat 3 KUHAP).