Berikut adalah Asas - Asas Hukum Dalam KUHAP
Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
- Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
- Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap orang baik tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan:
- Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
- Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
- Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Sebagai pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiringI dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan
dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection).
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis atau pun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:
- Pasal 50 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
- Pasal 50 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3)
- KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
- Pasal 51 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”.
- Pasal 51 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.
- Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
- Pasal 53 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
- Pasal 54 KUHAP menegaskan bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
- Pasal 55 KUHAP menegaskan bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
- Pasal 56 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”.
- Pasal 58 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
- Pasal 59 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya”.
- Pasal 60 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka/terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun usaha mendapatkan bantuan hukum”.
- Pasal 61 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan”.
- Pasal 62 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
- Pasal 62 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Surat menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan”.
- Pasal 64 KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.
- Pasal 65 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
- Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban pembuktian”.
- Pasal 68 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi (Compensatory and Rehabilitate)
Dalam pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP, sudah ada pedoman tatacara penuntutan ganti rugi dan rehabilitasi yaitu alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi disebabkan penangkapan atau penahanan antara lain:
- Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum.
- Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan Undang-Undang.
- Penangkapan atau penahanan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
- Apabila penangkapan atau penahanan tidak mengenai orangnya (disqualification in person) artinya orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan sudah menjelaskan bahwa orang yang ditangkap atau ditahan bukan dia, namun demikian tetap juga ditangkap atau ditahan dan kemudian benar-benar ternyata ada kekeliruan penangkapan atau penahanan itu.
Ganti Rugi Akibat Penggeledahan dan Penyitaan
Hal ini dapat terjadi karena tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum atau perintah atau surat izin dari Ketua Pengadilan. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan ke sidang pengadilan dalam hal perkaranya belum/tidak diajukan ke pengadilan, tetapi apabila perkaranya telah diajukan ke pengadilan, tuntutan ganti rugi diajukan ke pengadilan. Tuntutan ganti rugi ditujukan kepada negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dengan tegas yang menyatakan dibebankan ke negara cq. Departemen Keuangan dan tata cara pembayaran sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 983/KMK.01/1993.
Azas Penggabungan Pidana Dengan Ganti Rugi
Azas penggabungan perkara pidana dengan ganti rugi yang bercorak perdata merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang”korban”tindak pidana untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung, namun:
- Terbatas “kerugian yang dialami” korban sebagai akibat langsung dari tindakan terdakwa.
- umlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar kerugian materiil korban (pasal 98 KUHAP).
- Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata diajukan korban sampai proses perkara pidana belum memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur atau tuntutan pidana.
- Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan dilakukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
- Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum yang tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang tetap.